Senin, 11 Juli 2011

Struktur Modal dan Kebijakan Deviden

BAB I
Pendahuluan

Pasar modal merupakan salah satu wahana yang dapat dimanfaatkan untuk memobilisasi dana, baik dari dalam atau luar negeri. Kehadiran pasar modal memperbanyak pilihan sumber dana (khususnya dana jangka panjang) bagi perusahaan. Hal ini berarti keputusan pembelanjaan dapat menjadi semakin bervariasi
Kehadiran bursa efek sebagai lembaga penunjang pasar modal telah ikut berperan serta dalam menunjang perkembangan perusahaan-perusahaan yang ada dalam satu negara. Melalui bursa efek perusahaan dimungkinkan untuk mencari alternatif penghimpunan dana selain melalui perbankan. Perusahaan yang akan melakukan ekspansi dapat mendapatkan dana tidak hanya dalam bentuk kredit perbankan tetapi juga dalam bentuk equity (modal sendiri). Melalui bursa efek memungkinkan suatu perusahaan untuk menerbitkan sekuritas yang berupa saham.
Setiap perusahaan yang menerbitkan saham secara umum bertujuan untuk meningkatkan harga atau nilai sahamnya guna memaksimalkan kekayaan atau kemakmuran para pemegang sahamnya.
Kebijakan stuktur modal merupakan kebijakan tentang bauran dari segenap sumber pendanaan jangka panjang yang digunakan perusahaan. Kebijakan struktur modal akan berpengaruh positif terhadap nilai saham melalui penciptaan bauran atau kombinasi sumber dana (hutang jangka panjang dan modal sendiri) sehingga mampu memaksimalkan nilai saham. Dalam kondisi tertentu perusahaan dapat memenuhi kebutuhan dananya dengan mengutamakan sumber-sumber dari dalam perusahaan, akan tetapi adakalanya juga dana sudah sedemikian meningkat karena pertumbuhan perusahaan, dan dana Internal telah di gunakan semua, maka tidak ada pilihan lain selain menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan yang berupa hutang (debt). Penggunaan hutang dalam suatu perusahaan akan menaikkan nilai saham, karena adanya kenaikan pajak yang merupakan pos deduksi terhadap biaya hutang, namun pada titik tertentu penggunaan hutang dapat menurunkan nilai saham karena adanya pengaruh biaya kepailitan dan biaya bunga yang di timbulkan dari adanya penggunaan hutang. Kebijakan deviden merupakan kebijakan tentang berapa banyak bagian keuntungan yang dibagikan sebagai deviden. Keputusan untuk menentukan berapa banyak deviden yang harus di bagikan kepada pemegang saham, khususnya pada perusahaan yang go public, akan memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan yang tercemin dari harga saham. Jika perusahaan memiliki laba setiap tahunnya, maka perusahaan tersebut akan berfikir apakah dari laba yang di perolehnya tersebut akan di berikan semua atau sebagian atau seluruhnya di tahan untuk di investasikan kembali. Persoalan ini sebenarnya bukan persoalan biasa, karena akan mempunyai implikasi pada naik turunya harga saham perusahaan. Karena berkaitan dengan itulah di perlukan adanya pengaturan yang matang tentang bagaimana penentuan laba yang di peroleh di alokasikan pada deviden dan laba yang harus dibayar.
Kebijakan deviden akan berpengaruh positif terhadap nilai saham, melalui penciptaan keseimbangan di antara deviden saat ini dan laba di tahan sehingga mampu memaksimalkam nilai saham. Jika perusahaan bersangkutan menjalankan kebijakan untuk membagikan tambahan tunai maka akan cenderung meningkatkan harga saham, namun jika nilai deviden tunai meningkat maka makin sedikit dana yang tersedia untuk reinvestasi sehingga tingkat pertumbuhan perusahaan yang di harapkan untuk masa mendatang akan rendah, dan hal ini akan menurunkan harga saham. Nilai saham akan maksimal jika terjadi keseimbangan antara deviden saat ini dan laba di tahan.
Adanya tujuan perusahaan untuk memaksimalkan harga atau nilai saham, menuntut perusahaan dalam pengambilan keputusan untuk selalu memperhitungkan akibatnya terhadap nilai atau harga sahamnya. Jika perusahaan ingin mencapai tujuannya maka setiap keputusannya harus di evaluasi pengaruhnya terhadap harga saham. Untuk itu keputusan sruktur modal dan kebijakan deviden harus selalu di evaluasi atas dasar akibatnya terhadap nilai atau harga sahamnya
Meskipun harga atau nilai yang terjadi di pasar pada saat keputusan struktur modal dan kebijakan deviden di umumkan, bukan merupakan satu-satunya pedoman yang digunakan untuk pengambilan keputusan, namun demikian setiap perusahaan harus menyadari bahwa nilai atau harga saham yang terjadi di pasar merupakan pedoman yang penting untuk mengevaluasi keputusan perusahaan, yaitu untuk mengevaluasi apakah kebijakan struktur modal dan kebijakan deviden dapat memaksimalkan harga sahamnya.
Dampak kebijakan struktur modal dan kebijakan deviden terhadap harga pasar saham merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan karena kebijakan struktur modal dan kebijakan deviden menyangkut keputusan vinansial yang acap kali dilakukan oleh setiap perusahaan dan lewat keputusan inilah nilai perusahaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap harga pasar saham perusahaan tersebut.
Perusahaan manufaktur sebagai salah satu sektor usaha yang ada dalam suatu negara sangat perlu mengevaluasi keputusan-keputusannya guna memaksimalkan nilai sahamnya. Mengingat bahwa perusahaan sektor manufaktur yang telah mencatatkan dibursa efek, dan telah menghimpun dananya dengan menerbitkan saham, dan perusahaan manufaktur merupakan investasi jangka panjang yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian.

















BAB II
PEMBAHASAN MATERI

A. KEBIJAKAN STRUKTUR MODAL

1. METODA – METODA DALAM MANAJEMEN STRUKTUR MODAL
 Mengapa struktur modal perlu diperhatikan ? Hal ini memotivasi manajemen perusahaan untuk mencari suatu struktur mosal yang optimal untuk perusahaannya . Beberapa alat atau metoda dapat digunakan untuk menentukan suatu pilihan sehingga akan sangat bermanfaat untuk menjawab pertanyaan semacam ini “ Dimasa mendatanng, jika kita memerlukan dana 500 juta, apakah kita sebaiknya menerbitkan saham atau obligasi ?” Metoda dasar tersebut adalan (a) Analisis EBIT – EPS, (b) Perbandingan rasio – rasio leverage, dan (c) Anaisis arus kas perusahaan.

a). Analisis EBIT – EPS.
 Melalui analisis ini manajemen dapat melihat dampak dari berbagai alternatif pendanaan terhadap EPS ( Earning per share ) pada tingkatan EBIT ( Earning Before Interest and Tax ) yang bervariasi. Yang dimaksud dengan EPS adalah laba bersih sesudah pajak atau Earning After Tax ( EAT ) dibagi jumlah lembar saham perusahaan yang beredar.

Pada analisis ini, hubungan antara EBIT dan EPS dapat dicari dengan cara:
1. Menghitung EPS pada berbagai alternatif pendanaan untuk EBIT tertentu , dan
2. Mengulang lankah pertama untuk EBIT yang berbeda – beda. Hasilnya kemudian digambarkan dalam grafik EBIT-EPS.

 Indifference point memberikan masukan penting bagi manajemen dalam memilih alternatif pembelanjaan, Jika expected EBIT lebih besar dari indifference point, perusahaan sebaiknya menggunakan hutang. Jika sebaliknya, menggunakan saham akan lebih menguntungkan. Perlu dicatat bahwa keputussan ini bisa salah jika actual EBIT tidak besar yang diharapkan. Oleh karena itu, didalam mengambil keputusan, manajemen harus memperhatikan juga deviasi standard ( tingkat variabilitas ) EBIT perusahaan. Expected dan deviasi standard EBIT dapat dicari dengan mengembangkan sejumlah skenario tentang EBIT dimasa mendatang beserta dengan probabilita terjadinya. Jika deviasi standard EBIT relatif besar, manajemen harus lebih hati – hati karena expected EBIT menjadi kurang dapat dipercaya. Sebaiknya manajemen memutuskan menggunakan hutang hanya bila ecpected EBIT cukup jauh di atas indifference point.


EAT ( saham ) EAT ( hutang )
=
Jumlah saham Jumlah saham



( EBIT* - C1) ( 1 – T ) (EBIT* - C2 ) ( 1 – T)
=
S1 S2


Dimana:
EBIT * = Indifferent point
C1 = Biaya bunga pada alternatif pembelanjaan 1
C2 = Biaya bunga pada alternatif pembelanjaan 2
S1 = Jumlah saham pada alternatif pembelanjaan 1
S2 = Jumlah saham pada alternatif pembelanjaan 2
T = Tingkat pajak



(b) Perbandingan Rasio – Rasio Leverage
 Tujuan dari analisis ini adalah untuk menentukan efek dari setiap alternatif pendanaan terhadap rasio – rasio leverage ( penggunaan hutang ). Manajemen kemudian dapat membandingkan rasio – rasio yang ada saat ini dan rasio – rasio pada alternatif pendanaan tertentu dengan rasio – rasio industri sejenis. Rasio Leverage terdiri dari (1) Rasio Hutang ( debt ratio ), (2) Rasio Jaminan ( coverege ratio ).

 Rasio hutang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang, sedangkan rasio jaminan menunjukkan kemampuan untuk membayar bunga dan pokok pinjamn yang jatuh tempo. Untuk menghitung rasio hutang, manajemen menggunakan informasi dari neraca. Untuk menghitung rasio jaminan, informasi dari laporang rugi – laba yang dipergunakan.

Manajemen dapat menggunakan metoda perhitungan rasio sbb :
1. Rasio Hutang:
a. Total hutang/Total aktiva
b. Hutang jangka panjang/ (Hutang jangka panjang + Modal sendiri)
c. Total hutang/ Modal sendiri

2. Rasio Jaminan:
a. Time interest earned = EBIT/Biaya bunga
b. Debt service coverage = EBIT / [ biaya bunga + (pembayaran pokok pinjman/1 – pajak) ]

 Rasio hutang dan rasio jaminan dapat dihitung berdasarkan : (1) posisi keuangan perusahaan pada saat ini, (2) posisi keuangan perusahaan dengan alternatif – alternatif pendanaan yang ada seperti 100 % modal sendiri, 100% hutang dsb. Rasio – rasio tersebut kemudian dibandingkan dengan rasio indusstri. Dari perbandingan tersebut, manajemen dapat menentukan alternatif pendanaan yang paling tepat bagi perusahaan. Hal ini tidak berarti bahwa manajemen harus mempertahankan rasio yang sama dengan rasio industri. Kegunaan perbandingan rasio dengan rasio industri adalah jika perusahaan memilih rasio hutang dan rasio jaminan yang menyimpang dari rasio industri, ia harus memiliki alasan yang kuat.

(c) Analisis Arus Kas Perusahaan
 Metoda ini menganalisis dampak keputusan struktur modal terhadap arus kas perusahaan. Metoda ini sederhana tetapi sangat bermanfaat. Metoda ini melibatkan persiapan suatu seri anggaran kas pada (1)kondisi perekonomian yang berbeda, (2) struktur modal yang berbedaArus kas bersih pada situasi yang berbeda ini dapat dianalisis untuk menentukan apakah beban tetap perusahaan ( pokok pinjaman, bunga, sewa dan dividen saham preferen ) yang dihadapi perusahaan tidak terlalu tinggi. Ketidak mampuan perusahaan untuk membayar beban tetap bisa mengakibatkan “ financial insolvency “.

 Gordon Donaldson dari Harvard University menyarankan bahwa kapasitas beban tetap perusahaan sebaiknya tergantung pada arus kas bersih perusahaan yang diharapkan dapat terwujud pada saat perekonomian mengalami resesi. Dengan kata lain, target struktur modal ditentukan dengan membuat rencana untuk menghadapi “ kondisi terburuk yang mungkin terjadi “.

 Rumus berikut mendifinisikan CBr, saldo kas yang diharapkan perusahaan pada akhir periode resesi.

CBr = Co + NCFr – FC

Dimana:
Co = Saldo ka pada awal resesi
NCFr = Arus kas bersih dari operasi selama resesi
FC = Beban tetap perusahaan


ANALISIS SUBYEKTIF DALAM MANAJEMEN STRUKTUR MODAL

 Dalam menentukan struktur modal perusahaan , manajemen juga menerapkan analisi subyektif ( judgment ) bersama dengan analisis kuantitatif yang telah dibahas didepan. Berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan tentang struktur modal adalah :
a). Kelangsungan hidup jangka panjang ( Long – run viability ).
Manajer perusahaan, khusunya yang menyediakan produk dan jasa yang penting, memiliki tanggung jawab untuk menyediakan jasa yang berkesinambungan. Oleh karena itu, perusahaan harus menghindari tingkat penggunaan hutang yang dapat membahayakan kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan.
b). Konsevatisme manajemen
Manajer yang bersifat konservatif cenderung menggunakan tingkat hutang yang “ konservatif “ pula ( sedikit hutang ) dari pada berusaha memaksimumkan nilai perusahaan dengan menggunakan lebih banyak hutang.
c). Pengawasan
Pengawasan hutang yang besar dapat berakibat semakin ketat pengawasan dari pihak kreditor ( misalnya, melalui kontrak perjanjian atau covenaut ). Pengawasan ini dapat mengurangi fleksibilitas manajemen dalam membuat keputusan perusahaan.
d). Struktur aktiva
Perusahaan yang memiliki aktiva yang digunakan sebagai agunan hutang cenderung menggunakan hutang yang relatif lebih besar. Misalnya , perusahaan real estate cenderung menggunakan hutang yang lebih besar dari pada perusahaan yang bergerak pada bidang riset teknologi
e). Risiko bisnis
Perusahaan yang memiliki risiko bisnis ( variabilitas keuntungannya ) tinggi cenderung kurang dapat menggunakan hutang yang besar ( karena kreditor akan meminta biaya hutang yang tinggi ). Tinggi rendahnya risiko bisnis ini dapat dilihat antara lain dari stabilitas harga dan unit penjualan, stabilitas biaya, tinggi rendahnya operating leverage, dll.
f). Tingkat pertumbuhan
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi membutuhkan modal yang besar. Karena biaya penjualan ( flotation cost ) untuk hutang pada umumnya lebih rendah dari fenation cost untuk jaminan, perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung menggunakan lebih banyak hutang dbanding dengan perusahaan dengan tingkat pertumbuhan rendah.
g). Pajak
Biaya bunga adalah biaya yang dapat mengurangi pembayaran pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak mengurangi pembayaran pajak. Oleh karena itu , semakin tinggi tingkat pajak perusahaan, semakin besar keuntungan dari penggunaan pajak.
h). Cadangan kapasitas peminjaman
Penggunaan hutang akan meningkatkan risiko, sehingga biaya mosal akan meningkat. Perusahaan harus mempertimbangkan suatu tingkat penggunaan hutang yang masih memberikan kemungkinan menambah hutang di masa mendatang dengan biaya yang relatif rendah
.

BEBERAPA CATATAN TENTANG KEBIJAKAN STRUKTUR MODAL

 Pada pertemuan tahunan Financial Management Association (FMA) pada tahun 1989, disimpukan beberapa hal mengenai struktur perusahaan.
a). Dalam praktik sangat sulit menentukan titik struktur modal yang optimal. Bahkan untuk membuat suatu range untuk struktur modal yang optimalpun sangat sulit. Oleh karena itu, kebanyakan perusahaan hanya memperhatikan apakah perusahaan terlalu banyak menggunakan hutang atau tidak.
b). Ada kenyataan bahwa walaupun struktur modal perusahaan dianggap jauh dari optimal, tapi dampaknya pada nilai perusahaan tidak terlalu besar. Dengan kata lain keputusan tentang struktur modal tidaklah sepenting keputusan investasi, yang memiliki dampak yang lebih besar terhadap nilai perusahaan.

 Berdasarkan hal – hal di atas, sebaiknya perusahaan lebih memfokuskan diri pada suatu tingkat hutang yang hati – hati ( prudent ) dari pada berusaha mencari tingkat hutang yang optimal. Tingkat hutang yang “ prudent “ harus dapat memanfaatkan keuntungan dari penggunaan hutang dan tetap menuju : (1) mempertahankan risiko finansial pada tingkat yang masih terkendali, (2) menjamin fleksibilitas pembelanjaan perusahaan, (3) mempertahankan “ credit rating “ perusahaan.

 Keputusan tentang sstruktur modal melibatkan analisis “ trade – off “ antara risiko dan keuntungan. Penggunaan hutang meningkatkan risiko perusahaan, tapi juga mengingkatkan keuntungan perusahaan oleh karena itu, struktur modal yang optimal akan menyeimbankan risiko dan keuntungan perusahaan.
 Metoda lain yang tidak jarang digunakan dalam menentukan struktur modal perusahaan adalah analisi perbandingan rasio struktur modal. Manajemen membandingkan struktur modal perusahaan mereka dengan struktur modal perusahaan pada industri yang sama. Suatu pilihan terhadap struktur modal yang menyimpang dari struktur modal industri harus memiliki alasan yang kuat.

 Suatu riset terhadap 170 manajer keuangan senior di AS menunjukkan bahwa sekitar 60 % percaya bahwa ada suatu struktur modal yang opetimal bagi perusahaan. Riset ini juga menunjukkan bahwa (1) manajer keuangan menetapkan suatu target rasio hutang bagi perusahaannya, (2) nilai rasio hutang ini dipergunakan untuk evaluasi terhadap risiko bisnis yang dihadapi perusahaan.





B. KEBIJAKAN DIVIDEN
1. Beberapa Teori Kebijakan Dividen :
 Manajemen mempunyai 2 alternatif perlakuan terhadap penghasilan bersih sesudah pajak ( EAT ) perusahaan yaitu :
1. Dibagi kepada para pemegang saham perusahaan dalam bentuk dividen
2. Diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan ( retaired earning ).
Pada umumnya sebagian EAT ( Earning After Tax ) dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali, artinya manajemen harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen. Pembuat keputusan tentang dividen ini disebut kebijakan dividen ( dividen policy ).
 Persentase dividen yang dibagi dari EAT disebut “ Dividend Payout Ratio “ ( DPR ).

Dividen yang dibagi
DPR =
EAT
Prosentasi laba ditahan dari EAT adalah 1 – DPR
 Ada berbagai pendapat atau teori tentang kebijakan dividen a.l :
a. Teori “ Dividen Tidak Relevan “ dari Modigliani dan Miller,
b. Teori “ The Bird in the Hand “ ,
c. Teori Perbedaan Pajak ,
d. Teori “ Signaling Hypothesis “ ,
e. Teori “ Clientele Effect “.

a. Teori “ Dividen Tidak Relevan “ dari Modigliani dan Miller :
 Menurut Modigliani dan Miller (MM) , nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya DPR, tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak ( EBIT ) dan kelas risiko perusahaan. Jadi menurut MM, dividen adalah tidak relevan.
 Pernyataan MM ini didasarkan pada beberapa asumsi penting yang “ lemah “ seperti :
1. Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional.
2. Tida ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru.
3. Tidak ada pajak
4. Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah.
Pada praktiknya :
a). Pasar modal yang sempurna sulit ditemui ; b). biaya emisi saham baru pasti ada ; c). pajak pasti ada ; d). kebijakan investasi perusahaan tidak mungkin tidak berubah.
 Beberapa ahli menentang pendapatan MM tentang dividen adalah tidak relevan dengan menunjukkan bahwa adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaan. Modal sendiri dapat berasal dari laba ditahan dan menerbitkan saham biasa baru. Jika modal sendiri berasal dari laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar Ks ( Biaya modal sendiri dari laba ditahan ). Tapi bila berasal dari saham biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke ( biaya modal sendiri dari saham biasa baru ).


D1
Ks = + g
Po

D1
Ke = + g
Po (1 – F)


 Beberapa ahli menyoroti asumsi tidak adanya pajak. Jika ada pajak maka penghasilan investor dari dividen dan dari capital gains ( kenaikan harga saham ) akan dikenai pajak. Seandainya tingkat pajak untuk dividen dan capital gains adalah sama, investor cenderung lebih suka menerima capital gains dari pada dividen karena pajak pada capital gains baru dibayar saat saham dijual dan keuntungan diakui / dinikmati. Dengan kata lain, investor lebih untung karena dapat menunda pembayaran pajak. Investor lebih suka bila perusahaan menetapkan DPR yang rendah, menginvestasikan kembali keuntungan dan menaikkan nilai perusahaan atau harga saham.


b. Teori “ The Bird in the Hand “ :

 Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri perusahaan akan naik jika DPR rendah karena investor lebih suka menerima dividen dari pada capital gains. Menurut mereka, investor memandang dividend yield lebih pasti dari pada capital gains yield. Perlu diingat bahwa dilihat dari sisi investor, biaya modal sendiri dari laba ditahan ( KS ) adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham. KS adalah keuntungan dari dividen ( dividend yield ) ditambah keuntungan dari capital gains ( capital gains yield ).

 Modigliani dan Miller menganggap bahwa argumen Gordon dan Lintner ini merupakan suatu kesalahan ( MM menggunakan istilah “ The Bierd in the hand Fallacy “ ) . Menurut MM, pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir sama.

c. Teori Perbedaan Pajak

 Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi, capital gains yield rendah dari pada saham dengan dividend yield rendah, capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividend lebih besar dari pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa.

 Jika manajemen percaya bahwa teori “ Dividen tidak relevan “ dari MM adalah benar, maka perusahaan tidak perlu memperdulikan berapa besar dividen yang harus dibagi, Jika mereka menganut teori “ The Bird in the Hand “, mereka harus membagi seluruh EAT dalam bentuk dividen. Dan bila manajemen cenderung mempercayai teori perbedaan pajak ( Tax Differential Theory ), mereka harus menahan seluruh EAT atau DPR = 0 %. Jadi ke 3 teori yang telah dibahas mewakili kutub – kutub ekstrim dari teori tentang kebijakan dividen. Sayangnya test secara empiris belum memberikan jawaban yang pasti tentang teori mana yang paling benar.


d. Teori “ Signaling Hypothesis “

 Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya pernurunan diveden pada umumnya menyebabkan harga saham turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen dari pada capital gains. Tapi MM berpendapat bahwa suatu kenaikan dividen yang diatas biasanya merupakan suatu “ sinyal “ kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik diveden masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau keanikan dividen yang dibawah keanaikan normal ( biasanya ) diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan menghadapi masa sulit diveden waktu mendatang.

 Seperti teori dividen yang lain , teori “ Signaling Hypotesis “ ini juga sulit dibuktikan secara empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen mengandung beberapa informasi. Tapi sulit dikatakan apakah kenaikan dan penurunan harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen semata-mata disebabkan oleh efek “ sinyal “ atau disebabkan karena efek “ sinyal “ dan preferensi terhadap dividen.

e. Teori “ Clientele Effect “.

 Teori ini menyatakan bahwa kelompok ( clientele ) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan.

 Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu Dividend payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan.

 Jika ada perbedaan pajak bagi individu ( misalnya orang lanut usia dikenai pajak lebih ringan ) maka pemegang saham yang dikenai pajak tinggi lebih menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen yang kecil. Sebalinya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak relatif rendah cenderung menyukai dividen yang besar.

 Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari “ Clientele “ ini ada. Tapi menurut MM hal ini tidak menunjukkan bahwa lebih baik dari dividen kecil, demikian s ebaliknya. Efek “ Clientele “ ini hanya mengatakan bahwa bagi sekelompok pemegang saham, kebijakan dividen tertentu lebih menguntungkan mereka .

2. Kebijakan Dividen dalam Praktik

 Pada praktiknya perusahaan cenderung memberikan dividen dengan jumlah yang relatif stabil atau meningkat secara teratur. Kebijakan ini kemungkinan besar disebabkan oleh asumsi bahwa :
a. Investor melihat keanaikan dividen sebagai suatu tanda baik bahwa perusahaan memiliki prospek cerah, demikian sebaliknya. Hal ini membuat perusahaan lebih senang mengambil jalan aman yaitu tidak menurunkan pembayaran dividen ,
b. Investor cenderung lebih menyukai dividen yang tidak berfluktuasi ( dividen yang stabil ).

 Menjaga kestabilan dividen tidak berarti menjaga Dividend Payout Ratio tetap stabil karena jumlah nominal dividen juga tergantung pada penghasilan bersih perusahaan ( EAT ). Jika DPR dijaga kestabilannya, misalnya ditetapkan sebesar 50 % dari waktu ke waktu, tetapi EAT berfluktuasi, maka pembayaran dividen juga akan berfluktuasi

 Pada umumnya perusahaan akan menaikkan dividen hingga suatu tingkatan dimana mereka yakin dapat mempertahankannya diveden masa mendatang. Artinya jika terjadi kondisi yang terburuk sekalipun, perusahaan masih dapat mempertahankan pembayaran dividen – nya.


 Pada prakteknya ada perusahaan yang menggunakan model “ residual dividend “ dimana dividen ditentukan dengan cara :
1. Mempertimbangkan kesempat investasi perusahaan ;
2. Mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi.
3. Memanfaatkan laba ditahan untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin
4. Membayar dividen hanya jika ada sisa laba.
Dengan demikian, besarnya dividen bersifat fluktuatif. Model “ Residual Dividend “ ini berkembang karena perusahaan lebih senang menggunakan laba ditahan dari pada menerbitkan saham baru untuk memenuhi kebutuhan modal sendiri, alasannya :
1). Menerbitkan saham menimbulkan biaya emisi saham ( flotation cost ) dan 2). Menruut teori “ signaling hypothesis “ penerbitan saham baru sering salah artikan oleh investor bahwa perusahaan kesulitan keuangan sehingga menyebabkan penurunan harga saham.

 Model “ Residual dividend “ menyebabkan dividen bervariasi jika kesempatan investasi perusahaan juga bervariasi ( fluktuasi ) , Jika kita percaya pada teori “ signaling hypothesis “. maka model ini sebaiknya tidak diguanakn secara kaku untuk menetapkan besarnya dividen secara “ year to year basis “. Model ini lebih banyak digunakan sebagai penuntun untuk menetapkan sasaran payout ratio jangka panjang yang memungkinkan perusahaan memenuhi kebutuhan akan modal sendiri dengan laba ditahan.

 Pada praktiknya, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi manajemen dalam menentukan kebijakan dividen , a.l :
1. Perjanjian Hutang , pada umumnya perjanjian hutang antara paerush dengan kreditor membatasi pembayaran dividen. Misalnya, dividen hanya dapat diberikan jika kewajiban hutang telah dipenuhi perusahaan dan atau rasio – rasio keuangan menunjukkan bank dalam kondisi sehat.

2. Pembatasan dari saham Preferen , tidak ada pembayaran dividen untuk saham biasa jika dividen saham preferan belum dibayar.

3. Tersedianya Kas, Dividen berupa uang tunai ( cash dividend ) hanya dapat dibayar jika tersedianya uang tuani yang cukup. Jika likuiditas baik, perusahaan dapat membayar dividen.

4. Pengendalian , Jika manajemen ingin mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, ia cenderung untuk segan menjual saham baru sehingga lebih suka menahan laba guna memenuhi kebutuhan dana / baru. Akibatkanya dividen yang dibayar menjadi kecil. Faktor ini menjadi penting pada perusahaan yang relatif keci.

5. Kebutuhan dana untuk Investasi , Perusahaan yang berkembang selalu membutuhkan dana baru untuk diinvestasikan pada proyek – proyek yang menguntungkan. Sumber dana baru yang merupakan modal sendiri ( equity ) dapat berupa penjualan sham baru dan laba ditahan. Manajemen cenderung memanfaatkan laba ditahan karena penjualan saham baru menimbulkan biaya peluncuran saham ( flotation cost ) . Oleh karena itu semakin besar kebutuhan dana investasi, semakin kecil dividen payout ratio.

6. Fluktuasi Laba, Jika laba perusahaan dapat membagikan dividen yang relatif besar tanpa takut harus menurunkan dividen jika laba tiba – tiba merosot. Sebaliknya jika laba perusahaan berfluktuasi, dividen sebaiknya kecil agar kestabilannya terjaga. Selain itu, perusahaan dengan laba yang berfluktuasi sebaiknya tidak banyak menggunakan hutang guna mengurangi risiko kebangkrutan. Konsekuensinya laba ditahan menjadi besar dan dividen mengecil.

3. Stock Repurchase, Stock Dividend dan Stock Split

a. Stock Repurchase

 Sebagai alternatif terhadap pemberian dividen berupa uang tunai ( cash dividen ) , perusahaan dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali saham perusahaan ( repuchasing stock ).

 Harga stock repurchase pada ekilibrium dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

( S x Pc )
P* =
( S – n )

dimana:
P* : harga stock repurchase equilibrium
S : jumlah saham beredar sebelum stock repurchase
Pc : harga saham saat ini sebelum stock repurchase
N : jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan.

 Keuntungan stock repurchase bagi pemegang saham :
1) Stock repuchase sering di pandang sebagai tanda positif bagi investor karena pada umumnya stock repuchase dilakukan jika perusahaan merasa bahwa saham “ undervalued “.
2) Stock repuchase mengurangi jumlah saham yang beredar dipasar. Setelah stock repuchase ada kemungkinan harga saham naik.

 Kerugian bagi pemegang saham :
1). Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya.
2). Keuntungan stock repuchase dalam bentuk capital gains, padahal sebagian investor menyukai dividen.

 Keuntungan bagi perusahaan :
1). Menghindari kenaikan dividen. Jika dividen naik terlalu tinggi dikhawatirkan di masa mendatang perusahaan terpaksa membagi dividen yang lebih kecil ( pada masa sulit atau banyak kebutuhan dana investasi ) yang dapat memberi petanda negatif. Stoc repuchase merupakan alternatif yang baik untuk mendistribusikan penhasilan yang diatas normal ( extraordinary earnings ) kepada pemegang saham.
2). Dapat digunakan sebagai strategi untuk mengacau usaha pengambil – alihan perusahaan ( yang biasanya dilakukan dengan cara membeli saham sebanyak –b anyaknya hingga mencapai jumlah saham mayoritas ) Stock repuchase dapat menggalkan usaha ini.
3). Mengubah struktur modal perusahaan. Misalnya, perusahaan ingin meningkatkan rasio hutang dengan cara menggunakan hutang baru untuk membeli kembali saham yang beredar.
4). Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan tambahan dana.

 Kerugian bagi perusahaan adalah :
1). Dapat merusak image perusahaan karena sebagian investor merasa bahwa stock repuchase merupakan indikator bahwa manajemen perusahaan tidak mempunyai proyek – proyek baru yang baik. Namun demikian, jika perusahaan benar – benar tidak memiliki kesempatan investasi yug baik, ia memang sebaiknya mendistribusikan dana kembali kepada pemegang saham. Tidak banyak bukti empiris yang mendukung alasan ini.
2) Setelah stock repuchase, pasar mungkin merasa bahwa risiko perusahaan meningkat sehingga dapat menurunkan harga saham.

 Jika harus memilih antara stock repuchase dan pembayaran dividen tunai, pada pasar yang sempurna ( dimana tidak ada pajak , biaya komisi untuk jual – beli saham dan efek sinyal dari pemberian dividen ), investor akan indifferent terhadap ke 2 pilihan. Pada pasar yang tidak sempurna, investor mungkin akan memiliki preferensi terhadap salah satu dari ke 2 alternatif tersebut.

 Ada 3 metode yang dapat digunakan untuk membeli kembali saham :
1. Saham dapat dibeli pada pasar terbuka ( open market )
2. Perusahaan membuat penawaran formal untuk membeli saham perusahaan dalam jumlah tertentu dan harga tertentu ( pendekatan tender offer )
3. Perusahaan membeli sejumlah sahamnya kembali dari satu atau beberapa pemegang saham besar ( pendekatan negotiated basis )

b. Stock Split dan Stock Dividend
 Stock split adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar menjadi bagian yang lebih kecil. Stock dividend adalah tindakan perusahaan memberikan saham baru sebagai pembayaran dividen .

 Bagi pemegang saham stock split tidak membuat mereka bertambah kekayaannya karena kenaikan jumlah saham diimbangi dengan penurunan nilai saham . Stock dividend juga tidak menambah kekayaan pemegang saham.

 Jika tidak ada keuntungan secara ekonomis mengapa perusahaan melakukan stock split dan Stock dividend :
1. Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga saham tetap berada pada optimal price range. Harga saham yang tinggi akan menyulitkan investor untuk membeli saham tersebut sehingga dapat menurunkan permintaan.
2. Stock dividend digunakan perusahaan yang ingin menghemat kas atau perusahaan dalam kesulitan keuangan. Masalah yang muncul jika perusahaan tidak membagi dividen tunai investor bisa salah persepsi terhadap emiten. Akibatnya harga saham bisa turun, sehingga untuk menghindari efek negatif ini perusahaan dapat membagi stock dividen sebagai pengganti dividen kas.

 Meskipun stock split dan stock dividen tidak berbeda secara pertimbangan ekonomis tapi perlakuan akuntansinya berbeda. Untuk stock dividen perusahaan harus melakukan kapitalisasi nilai pasar dari stock dividen dengan cara mentransfer sejumlah rupiah dari stock dividen ke rekening modal.






















BAB III
KESIMPULAN

Teori Struktur Modal meliputi
• Model Modigliani-Miller (MM) Tanpa Pajak
• Model Modigliani-Miller (MM) Dengan pajak
• Model Miller
• Financial Distress Dan Agency Costs
• Model Trade Off
• Teori Informasi Tidak Simetris (Assymetric Information Theory)
KEBIJAKAN STRUKTUR MODAL meliputi
• Metode Dalam Manajemen Struktur Modal
• Analisis Subyektif Dalam Manajemen Struktur Modal
• Beberapa Catatan Tentang Kebijakan struktur Modal
KEBIJAKAN DIVIDEN meliputi
• Beberapa Teori Kebijakan Dividen
• Kebijakan Dividen Dalam Praktik
• Stock Repurchase, Stock Dividend Dan Stock Split
• Stock Split dan Stock Dividend
BEBERAPA TEORI KEBIJAKAN DIVIDEN
 Dua alternatif perlakuan terhadap EAT :
a. Dalam bentuk dividen
b. Dalam bentuk laba ditahan (retained earning)
 Teori tentang Kebijakan Deviden :
a. Teori Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miller
b. Teori The Bird in the Hand
c. Teori Perbedaan Pajak
d. Teori Signaling Hypothesis
e. Teori Clientele Effect





















Daftar Pustaka


Agnes Sawir. 2004. Kebijakan Pendanaan dan Restrukturisasi Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Arief Sugiono. 2007. Manajemen keuangan Untuk Praktisi Keuangan. Jakarta : Grasindo

James Van Horne, John M. Wachowicz. 2007. Prinsip-prinsip Manajemen Keuangan. Jakarta : Salemba Empat

Mohammad Samsul. 2006. Pasar Modal dan Manajemen Portofolio. Jakarta : Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar